BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam teori tiga faktor
Hans J. Eysenck merumuskan pendapatnya
mengenai tingkah laku manusia yang bisa ditentukan melalui analisis faktor.
Dalam analisis faktor Eysenck mengembangkan suatu metode, yaitu criterion analysis. Dari analisis tersebut
telah menghasilkan sistem kepribadian yang ditandai adanya sejumlah kecil
dimensi-dimensi pokok yang didefinisikan dengan teliti dan jelas.
Eysenck berpendapat bahwa sifat dasar kepribadian
berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait. Namun dia juga berpendapat
bahwa semua tingkah laku bisa dipelajari dari lingkungan. Menurutnya
kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari
organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan.
Pada teori sifat Eysenck
menjelaskan tiga dimensi kepribadian, seperti :
·
Ekstraversi dan Introversi
Orang-orang
ekstroversi mempunyai karakteristik utama, yaitu senang bercanda, penuh gairah,
cepat dalam berpikir, optimis,
Orang-orang
introver mempunyai karakteristik sifat-sifat yang berkebalikan dari mereka yang
ekstrover.Mereka dapat dideskripsikan sebagai pendiam, pasif, tidak terlalu
bersosialisasi, hati-hati, tertutup, penuh perhatian, pesimistis, damai,
tenang, dan terkontrol.
·
Neurotisme
Eysenck
menyatakan bahwa beberapa penelitian telah menemukan bukti dari dasar genetic
untuk sifat neurotic, seperti kecemasan, hysteria, dan gangguan
obsesif-kompulsif.
·
Psikotisisme
Orang
yang skor P tinggi biasanya egosentris, dingin, kejam, agresif, curiga.Orang
yang skor P rendah (mengarah pada fungsi superego) cenderung bersif mudah
bersosialisasi, empati, peduli, kooperatif, mudah menyesuaikan diri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Hans J.Eysenck ?
2. Bagaimana gamabaran teori sifat tiga faktor Hans J.Eysenck ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI EYSENCK
Hans J. Eysenck
|
|
Hans Jürgen Eysenck
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
4 September 1997
London |
Kewarganegaraan
|
|
Kebangsaan
|
|
Bidang
|
|
Institusi
|
|
Mahasiswa
doktoral |
|
Dikenal atas
|
Selama
perang dunia kedua dia bertugas di Mill Hill Emergency Hospital, yaitu rumah
sakit jiwa yang merawat penderita gangguan jiwa yang kebanyakan terdiri dari
militer, di rumah sakit inilah berkembang dengan pesat psikiatri social (karena
oleh keadaan). Setelah perang selesai dia diangkat menjadi dosen dalam mata
kuliah psikologi pada Universitas London dan direktur Departemen Psikologi pada
psikiatri, yang meliputi Mansley Hospital dan Bethlem Royal Hospital, dan di
tempat-tempat tersebutlah kebanyakan research Eysenck dilakukan. Pada tahun
1949-1950 dia datang di Amerika Serikat sebagai guru besar tamu di Universitas
Pensyllvania, dan pada musim panas 1954 dia mengajar di Universitas California.
Pada tahun 1954 dia ditunjuk sebagai guru besar psikologi di Universitas London.
Secara
garis besar, karya-karyanya Eysenck namapak jelas pengaruh spearman, disamping
itu juga buah pikiran Thurstone. Pada sisi lain kalau di pelajari
rumusan-rumusan teoritisnya, Nampak kesamaan corak dengan karya-karya ahli
tipologi Eropa daratan, seperti Jensch, Jung, Kraepelin, dan Kretschmer
nampaknya besar sekali pengaruhnya dan Esyenck sendiri beranggapan, bahwa
penyelidikan-penyelidikannya langsung bersangkutan dengan perumus. Sebagai
penulis Esyenck sangat produktif. Tulisan-tulisannya dimuat tidak kurang dari
tujuh belas majalah, sedangkan buku-bukunya yang terpenting adalah: Dimension
of personality (1947), The scientific study of personality (1952), The
structure of human personality (1953).[1]
B.
GAMBARAN TEORI SIFAT DAN FAKTOR (EYSENCK)
a. Teori faktor
eysenck
Teori kepribadian dari Hans Eysenck mempunyai komponen biologis dan
psikometri yang kuat. Akan tetapi, Eysenck berargumen bahwa kecanggihan
psikometri saja tidak cukup untuk mengukur struktur kepribadian manusia dan dimensi
kepribadian yang didapatkan dari metode analisis faktor yang bersifat steril
dan tidak bermakna, kecuali jika sudah terbukti mempunyai suatu ekstensi
biologis.
b. Kriteria dalam
mengidentifikasi suatu faktor
Dengan
asumsi tersebut, eysenck membuat daftar empat kriteria dalam
mengidentifikasikan suatu faktor, yaitu:
1. Bukti psikometrik untuk eksistensi factor harus ditentukan. Kesimpulan dari kriteria ini
adalah bahwa faktor harus reliable dan dapat direplikasi. Peneliti lainnya,
dari laboratorium terpisah, juga harus dapat menemukan faktor tersebut, dan
secara konsisten mengidentifikasikan ekstraversi, neurotisme, dan psikotik yang
ditemukan oleh Eysenck.
2. Faktor harus mempunyai keterwarisan
(herbility) dan harus sesuai dengan model genetis yang sudah dikenal
sebelumnya. Kriteria ini mengeliminasi karakteristik yang dipelajari, seperti
kemampuan untuk mengimitasi suara-suara dari orang-orang terkenal atau
keyakinan agama ataupun politik.
3. Faktor harus masuk akal
saat dipandang dari segi teorretia. Eysenck menggunakan metode deduktif
dalam melakukan investigasi, dimulai dengan satu teori, kemudian mengumpulkan
data yang konsisten secara logis dengan teori tersebut.
4. Untuk eksistensi suatu
faktor adalah bahwa faktor harus mempunyai relevansi sosial, yaitu harus
ditunjukkan bahwa factor yang didapatkan secara matematika harus mempunyai
hubungan (tidak harus hubungan kasual) dengan variabel sosial yang relevan,
seperti kecanduan obat-obatan, kerentanan akan cedera yang tidak disengaja,
performa cemerlang dalam olahraga, perilaku psikotik, kriminalitas, dan
lain-lain.[2]
c. Hirarki organisasi
perilaku
Eysenck mengenali suatu
hierarki empat level dalam pengorganisasian perilaku, yaitu:[3]
1. Type adalah tipe atau
superfaktor. Suatu tipe terdiri dari beberapa sifat yang saling berkaitan.
Sebagai contoh, ketekunan dapat berkaitan dengan inferioritas, penyesuaian
emosional yang buruk, sifat pemalu secara sosial, dan beberapa sifat lainnya,
yang kesemuanya dapat membentuk tipe introversi.
2. Trait adalah beberapa
respon umum yang saling berhubungan akan membentuk suatu sifat. Eysenck
mendefinisikan sifat sebagai “disposisi kepribadian yang penting dan
semipermanen”. Sebagai contoh, murid akan mempunyai sifat tekun apabila mereka
biasanya menyelesaikan tugas kelas dan terus bekerja pada tugas-tugas lain
sampai benar benar selesai.
3. Habitual response, yaitu tindakan
atau kognisi yang umum, yaitu respon yang terjadi secara berulang dalam
kondisi yang serupa. Sebagai contoh, apabila seorang murid sering bertahan
dengan suatu tugas sampai suatu tugas itu selesai, maka perilaku ini dapat
menjadi respons yang umum. Kebalikan dari respons spesifik, respons yang umum
harus cukup reliable atau konsisten.
4. Specific response, yaitu
kognisi atau tindakan spesifik, perilaku atau pikiran individual yang
mungkin ataupun tidak merupakan karakteristik dari seseorang. Seorang murid
yang menyelesaikan tugas membaca merupakan salah satu contoh dari respons
spesifik.
d. Dimensi kepribadian
Tiga dimensi kepribadian Eysenck adalah Ekstraversi (E), Neurotisme (N),
dan Psikotik (P).
Eysenck berargumen bahwa setiap faktor memenuhi empat kriteria yang ia
berikan untuk mengidentifikasikan dimensi kepribadian.
Pertama, bukti psikometrik yang
kuat harus ada dalam setiap faktor, terutama faktor E dan N. Faktor P mencul
belakangan dalam studi yang dilakukan Eysenck, namun tidak terlalu diperhatikan
dengan serius oleh peneliti lain sampai pada pertengahan tahun 1990-an.
Kedua, Eysenck berargumen bahwa
dasar biologis yang kuat terdapat dalam masing-masing superfaktor tersebut.
Ketiga, tiga dimensi kepribadian
Eysenck masuk akal secara teoretis. Carl Jung dan yang lainnya telah melihat
efek yang berpengaruh dari perilaku ekstraversi dan introversi (faktor E), dan
Sigmund freud menekankan pentingnya kecemasan (faktor N) dalam pembentukan
perilaku. Selain itu, psikotik (faktor P) selaras dengan para pakar teori
seperti Abraham Maslow, yang menggegas bahwa kesehatan psikologis mencakup dari
aktualisasi diri 9skor P rendah) sampai skozofrenia dan psikosis (skor P
tinggi).
Keempat, Eysenck berulang kali
memperlihatkan bahwa ketiga faktor berkaitan dengan isu sosial, seperti
penggunaan obat obatan terlarang, perilaku seksual, kriminalitas, mencegah
kanker dan penyakit jantung, serta kreativitas.
Ekstraversi
Istilah ekstraversi dan
introversi pertama dipakai oleh Jung. Menurut Jung, Ekstrversi adalah orang
yang pandangannya obyektif dan tidak pribadi. Sedangkan introversi adalah orang
yang pandangannya subyektif dan individualis.[4]
Adapun konsep yang dimiliki Eysenck mengenai ekstraversi dan introversi
lebih dekat dengan penggunaan popular dari kedua istilah ini. Orang-orang
ekstrover mempunyai karakteristik utama, yaitu kemampuan bersosialisasi dan
sifat impulsif, senang bercanda, penuh gairah, cepat dalam berpikir, optimis,
serta sifat-sifat lain yang mengindikasikan orang-orang yang menghargai
hubungan mereka dengan orang lain.
Orang-orang introvert mempunyai karakteristik sifat-sifat yang berkebalikan
dari mereka yang ekstrover. Mereka dapat dideskripsikan sebagai pendiam, pasif,
tidak terlalu bersosialisasi, hati-hati, tertutup, penuh perhatian, pesimistis,
damai, tenang, dan terkontrol. Akan tetapi, menurut Eysenck, perbedaan paling
mendasar antara ekstraversi dan introversi bukan terletak pada perilaku,
melainkan pada sifat dasar biologis dan genetiknya.
Eysenck yakin bahwa penyebab utama perbedaan antara orang ekstrover dan
introvert adalah tingkat rangsangan kortikal-suatu kondisi fisiologis
yang sebagian besar diwariskan secara genetik. Oleh karena itu orang ekstrover
mempunyai tingkat rangsangan kortikal yang lebih rendah daripada yang
introvert, mereka mempunyai ambang sensoris yang lebih tinggi sehingga akan
bereaksi lebih sedikit pada stimulus sensoris. Sebaliknya, orang-orang
introvert mempunyai karakteristik berupa tingkat rangsangan kortikal yang lebih
tinggi, sehingga mempunyai ambang sensoris yang lebih rendah dan mengalami
reaksi yang lebih banyak pada stimulus sensoris.
Orang introvers memilih aktivitas yang miskin rangsangan social seperti
membaca, olahraga soliter (main sky,atletik), organisasi persaudaraan
eksklusif. Sebaliknya orang ekstroves memilih berpartisipasi dalam kegiatan
bersama, pesta hura-hura, olahraga beregu (sepak bola, arum jeram), minum
alcohol dan memakai narkoba. Esyenk menghipotesakan ektravers (disbanding
introvert ) melakukan hubungan seksual lebih awal dan lebih sering dengan lebih
banyak pasangan,dan dengan perilaku seksual yang lebih bervariasi. Ekstravers
yang ketagihan alcohol dan narkotik cendurung mengkonsumsi dalam jumlah yang
besar.[5]
Neurotisme
Seperti
ekstraversi-introversi, neurotisisme-kestabilan mempunyai komponen hereditas
yang kuat. Eysenck menyatakan bahwa beberapa penelitian yang menemukan bukti
dasar genetik dari trait neurotik, seperti gangguan kecemasan, histeria, dan
obsesif- kompulsif. Juga ada keseragaman antara orang kembar-identik lebih dari
kembar- fraternal dalam hal jumlah tingkah laku antisosial dan asosial seperti
kejahatan orang dewasa, tingkah laku menyimpang pada anak-anak,
homoseksualitas, dan alkoholisme.
Orang-orang yang mempunyai skor tinggi dalam neurotisme mempunyai kecenderungan
untuk bereaksi berlebihan secara emosional, dan mempunyai kesulitan untuk
kembali ke kondisi normal setelah tersimulasi secara emosional. Mereka sering
mengeluhkan gejala-gejala fisik, seperti sakit kepala dan sakit punggung, serta
mempunyai masalah psikologis yang kabur, seperti kekhawatiran dan kecemasan. Akan
tetapi, neurotisme tidak selalu mengindikasikan suatu neurosis dalam artian
tradisional dari istilah tersebut. Orang dapat saja mempunyai skor tinggi dalam
neurotisme, tetapi terbebas dari gejala psikologis yang bersifat menghambat.
Neurotisme
dapat dikombinasikan dengan titik-titik yang berbeda-beda dalam skala
ekstravers, tidak ada satu sindrom yang dapat mendefinisikan perilaku
neurotis.Teknik analisis factor Eysenck mengasumsikan indepedensi
factor-faktor, yaitu bahwa skala neurotisme mempunyai sudut siku-siku dengan
skala ekstraversi (mengindikasikan kolerasi nol). Oleh karna itu, beberapa
orang dapat mempunyai skor yang tinggi dalam skala N, tetapi menunjukkan
gejala-gejala yang berbeda, bergantung pada derajat ekstraversi atau introversi
mereka.
Psikotisisme
Esyenk sadar bahwa
populasi data yang digunakan dalam penelitiannya terlalu luas dan global. Oleh
karena itu tidak tertutup kemungkinan dari sekian banyak populasi data itu ada
yang sebenarnya tidak patut dia pilih. Maka dia pun mulai melakukan penelitian
di rumah sakit jiwa ketika faktor data-data dari lembaga ini mulai dianalisis,
faktor ketiga yang sangat pentingpun muncul yang dia sebut psikotisisme.
Sebagaimana halnya
Neurotisme, orang psikotisistik bukan berarti mengidap psikotik, akan tetapi
hanya memperlihatkan beberapa gejala yang umumnya terdapat pada diri orang
psikotik. Walaupun demikian, kemungkinan untuk jatuh ke kondisi psikotik sangat
terbuka, tergantung berada dilingkungan mana orang tersebut.
Ada berbagai gejala yang
biasanya ditemukan pada diri orang-orang psikosistik, diantaranya adalah tidak
punya daya respon, tidak memedulikan kebiasaan yang lumrah berlaku dan ekspresi
emosional yang tidak sesuai dengan kebiasaan. Inilah yang menyebabkan
orang-orang ini disisihkan dari orang-orang normal dan harus tinggal
dilembaga-lembaga yang mengurusi orang dengan gangguan mental akut.[6]
e. Pembentukan kepribadian
Teori sifat Eysenck
menekankan peran herediter sebagai faktor penentu dalam perolehan sifat tiga
faktor, yakni ekstraversi, neurotisisme dan psikotisisme. Sebagian didasarkan
pada bukti hubungan korelasional antara aspek biologis, seperti CAL (Cortical
Arousal Level) dengan dimensi-dimensi kepribadian.[7]
Namun Eysenck juga
berpendapat, bahwa semua tingkah laku yang tampak –tingkah laku pada hirarki
kebiasaan dan respon spesifik semuanya (termasuk tingkah laku neurosis)
dipelajari dari lingkungan. Eysenck menganggap inti fenomena neurotis adalah
reaksi takut yang dipelajari (terkondisikan). Hal itu terjadi manakala satu
atau dua stimulus netral diikuti dengan perasaan sakit/nyeri fisik maupun
psikologis. Apabila traumanya sangat keras, dan mengenai seseorang yang faktor
hereditasnya rentan menjadi neurosis, maka bisa jadi cukup satu peristiwa
traumatis untuk membuat orang itu mengembangkan reaksi kecemasan dengan
kekuatan yang besar dan sukar berubah (diatesis stress model).
Setiap kali orang
mengahadapi stimulus yang membuatnya merespon dalam bentuk usaha menghindar
atau mengurangi kecemasan, menurut Eysenck orang itu menjadi terkondisi
perasaan takut/cemasnya dengan stimuli yang baru saja dihadapinya. Jadi
kecenderungan orang untuk merespon dengan tingkah laku neurotik semakin lama
semakin meluas, sehingga orang itu menjadi mereaksi dengan ketakutan stimuli
yang hanya sedikit mirip atau bahkan tidak mirip sama sekali dengan objek atau
situasi menakutkan yang asli.
Apabila tingkah laku itu
diperoleh dari belajar, logikanya tingkah laku itu juga bisa dihilangkan dengan
belajar. Eysenck memilih model terapi tingkah laku, atau metode menangani
tekanan psikologis yang dipusatkan pada pengubahan tingkah laku sesuai
alih-alih mengembangkan pemahaman mendalam terhadap konflik di dalam jiwa.
Eysenck mngembangkan empat inventori
kepribadian yang mengukur superfaktor yang digagasnya, yaitu:
e. Maudsley Personality Inventory
(MPI), inventori ini hanya mengkaji E dan N, serta menghasilkan beberapa
kolerasi dari kedua faktor tersebut.
f. Eysenck Personality Inventory (EPI).
Alat tes EPI ini memiliki skala kebohongan, untuk mendeteksi kepura-puraan,
tetapi yang penting tes tersebut mengukur ekstraversi dan neurotisme secara
independen, dengan kolerasi yang hampir 0 antara E dan N.
g. Eysenck Personality Questionnaire (EPQ),
yang memasukkan skala psikotik (P). Alat tes EPQ yang mempunyai versi dewasa
maupun anak-anak, adalah revisi dari EPI yang sampai sekarang masih juga
diterbitkan.
h. Eysenck Personality Questionnaire-Revised,
revisi dari EPQ. Muncul dari kritik terhadap
adanya skala P dalam EPQ.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tiga dimensi kepribadian Eysenck adalah Ekstraversi (E), Neurotisme (N),
dan Psikotik (P).
Eysenck berargumen bahwa setiap faktor memenuhi empat kriteria yang ia
berikan untuk mengidentifikasikan dimensi kepribadian.
Pertama, bukti psikometrik yang
kuat harus ada dalam setiap faktor, terutama faktor E dan N. Faktor P mencul
belakangan dalam studi yang dilakukan Eysenck, namun tidak terlalu diperhatikan
dengan serius oleh peneliti lain sampai pada pertengahan tahun 1990-an.
Kedua, Eysenck berargumen bahwa
dasar biologis yang kuat terdapat dalam masing-masing superfaktor tersebut.
Ketiga, tiga dimensi kepribadian
Eysenck masuk akal secara teoretis. Carl Jung dan yang lainnya telah melihat
efek yang berpengaruh dari perilaku ekstraversi dan introversi (faktor E), dan
Sigmund freud menekankan pentingnya kecemasan (faktor N) dalam pembentukan
perilaku. Selain itu, psikotik (faktor P) selaras dengan para pakar teori
seperti Abraham Maslow, yang menggegas bahwa kesehatan psikologis mencakup dari
aktualisasi diri 9skor P rendah) sampai skozofrenia dan psikosis (skor P
tinggi).
Teori sifat
Eysenck menekankan peran herediter sebagai faktor penentu dalam perolehan sifat
tiga faktor, yakni ekstraversi, neurotisisme dan psikotisisme. Sebagian
didasarkan pada bukti hubungan korelasional antara aspek biologis, seperti CAL
(Cortical Arousal Level) dengan dimensi-dimensi kepribadian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sujanto, agus,dkk. Psikologi Kepribadian,2009. Jakarta: Bumi Aksara.
2. http://ulfahnurussyifa.blogspot.com/2013/06/teori-keperibadian-hans-j-eysenck.html. Diakses tgl 14-09-2013.
3. Alwisol, Psikologi Kepribadian, 2004,
Malang: UMM Press
4. Boeree , George,Personality Theories. 2006. Jogyakarta:Prismasophie,
[1] Sujanto, agus,dkk. Psikologi Kepribadian,2009, Jakarta: Bumi
Aksara. Hlm.59.
[2] http://ulfahnurussyifa.blogspot.com/2013/06/teori-keperibadian-hans-j-eysenck.html. Diakses tgl 14-09-2013.
[4] http://ulfahnurussyifa.blogspot.com/2013/06/teori-keperibadian-hans-j-eysenck.html. Op,Cit Diakses tgl 14-09-2013.
[6]
Dr.C.George Boeree,Personality Theories, 2006, Jogyakarta:Prismasophie,Hlm. 236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar